Jumat, 26 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN LUPUS ERITHEMATOSUS SISTEMIK

A. Pengertian
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

(Sumber : www.istockphoto.com)

B. Anatomi Fisiologi
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari system endokrin juga diedarkan melalui darah.. Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen.

Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta. Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava inferior.

Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.

C. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinaran ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.

(Sumber : cursoenarm.net)

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
 Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).

D. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali

E. Tanda dan gejala
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut antara lain : 
- Ruam malar
- Ruam discoid
- Foto sentivitas (sentivitas pada cahaya)
ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
- Artritis
Serositis (radang membran serosa)
Kelainan ginjal
Kelainan neurologik
- kelainan hematologik
kelainan imunologik
adanya antibodi antinuklear

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD

Rabu, 24 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN SISTEMIC LUPUS ERITHEMATOSUS (SLE)

A. Pengertian
SLE (Sistemisc lupus erythematosus) adalah penyakti radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.

(Sumber : www.istockphoto.com)

B. Anatomi Fisiologi
Darah manusia adalah cairan jaringan tubuh. Fungsi utamanya adalah mengangkut oksigen yang diperlukan oleh sel-sel di seluruh tubuh. Darah juga menyuplai jaringan tubuh dengan nutrisi, mengangkut zat-zat sisa metabolisme, dan mengandung berbagai bahan penyusun sistem imun yang bertujuan mempertahankan tubuh dari berbagai penyakit. Hormon-hormon dari system endokrin juga diedarkan melalui darah.. Darah manusia berwarna merah, antara merah terang apabila kaya oksigen sampai merah tua apabila kekurangan oksigen. Warna merah pada darah disebabkan oleh hemoglobin, protein pernapasan (respiratory protein) yang mengandung besi dalam bentuk heme, yang merupakan tempat terikatnya molekul-molekul oksigen.

Manusia memiliki sistem peredaran darah tertutup yang berarti darah mengalir dalam pembuluh darah dan disirkulasikan oleh jantung. Darah dipompa oleh jantung menuju paru-paru untuk melepaskan sisa metabolisme berupa karbon dioksida dan menyerap oksigen melalui pembuluh arteri pulmonalis, lalu dibawa kembali ke jantung melalui vena pulmonalis. Setelah itu darah dikirimkan ke seluruh tubuh oleh saluran pembuluh darah aorta. Darah mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh melalui saluran halus darah yang disebut pembuluh kapiler. Darah kemudian kembali ke jantung melalui pembuluh darah vena cava superior dan vena cava inferior.

Darah juga mengangkut bahan bahan sisa metabolisme, obat-obatan dan bahan kimia asing ke hati untuk diuraikan dan ke ginjal untuk dibuang sebagai air seni.

C. Etiologi
Hingga kini faktor yang merangsang sistem pertahanan diri untuk menjadi tidak normal belum diketahui. Ada kemungkinan faktor genetik, kuman virus, sinaran ultraviolet, dan obat-obatan tertentu memainkan peranan.

(Sumber : cursoenarm.net)

Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) ini lebih kerap ditemui di kalangan kaum wanita. Ini menunjukkan bahwa hormon yang terdapat pada wanita mempunyai peranan besar, walau bagaimanapun perkaitan antara Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) dan hormon wanita saat ini masih dalam kajian.
 Penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE) bukanlah suatu penyakit keturunan. Walau bagaimanapun, mewarisi gabungan gen tertentu meningkatkan lagi risiko seseorang itu mengidap penyakit Sistemik Lupus Erythematosus (SLE).

D. Patofisiologi
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal ( sebagaimana terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif) dan lingkungan (cahaya matahari, luka bakar termal). Obat-obat tertentu seperti hidralazin, prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE- akibat senyawa kimia atau obat-obatan.

Pada SLE, peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali

E. Tanda dan gejala
Tanda atau gejala lainnya dari SLE telah dinyatakan oleh “American College of Rheumatology” yaitu 11 kriteria untuk klasifikasi SLE. Kesebelas kriteria tersebut antara lain : 
- Ruam malar
- Ruam discoid
- Foto sentivitas (sentivitas pada cahaya)
ulserasi (semacam luka) di mulut atau nasofaring
- Artritis
Serositis (radang membran serosa)
Kelainan ginjal
Kelainan neurologik
- kelainan hematologik
kelainan imunologik
adanya antibodi antinuklear

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD

Selasa, 23 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN MICROCEPHALY

A.Pengertian
Microcephalus (microcephaly) adalah kondisi yang sangat langka di mana otak tidak tumbuh pada tingkat yang diharapkan dan fisik hasil di lingkar kepala anak yang lebih kecil dari biasanya. Seorang anak dengan Microcephalus mungkin tidak memiliki gejala lain dari ukuran kepala mereka. Seorang anak dengan Microcephalus mungkin memiliki kemampuan yang normal untuk berpikir dan memahami. Setiap anak berbeda dan gangguan mampu mempengaruhi anak-anak dengan cara yang berbeda.

Ada dua jenis Microcephalus; primer dan sekunder. Kedua jenis hasil Microcephalus pada anak yang memiliki kepala kecil, namun gejala lain yang tidak sama.

·    Microcephalus Primer (hadir sejak lahir) seringkali tidak memiliki gejala-gejala yang terkait.
·    Microcephalus sekunder (berkembang kemudian) dapat memiliki berbagai gejala tergantung pada kondisi yang menyebabkan gangguan tersebut.
(Sumber : med.stanford.edu)


Mikrosefalus adalah kelainan otak dengan ukuran kepala lebih kecil dari ukuran kepala rata-rata berdasarkan umur dan jenis kelamin. Kepala dikatakan lebih kecil jika ukuran lingkar kepala kurang dari 42 cm atau lebih kecil dari standar deviasi 3 dibawah angka rata-rata. Mikrosefalus seringkali terjadi akibat kegagalan pertumbuhan otak pada kecepatan yang normal. Beberapa penyakit yang memengaruhi pertumbuhan otak dapat menyebabkan mikrosefalus. Mikrosefalus seringkali berhubungan dengan keterbelakangan mental. Mikrosefalus dapat terjadi setelah infeksi yang menyebabkan kerusakan pada otak pada bayi yang sangat muda (misalnya meningitis dan meningoensefalitis).

B. Etiologi
Kelainan genetic
kekurangan oksigen setelah paparan kelahiran dan kehamilan
narkoba dan alkohol
Infeksi dan/atau intoxikasi
Rudapaksa dan/atau sebab fisik lain
Gangguan metabolisme, pertumbuhan gizi atau nutrisi
Penyakit otak yang nyuata (kondisi setelah lahir/post natal)
Akibat penyakit atau pengaruh sebelujm lahir (pre-natal) yang tidak diketahui
Akibat kelainan kromosommal
Gangguan saat kehamilan (gestational disorders)
Gangguan pasca psikiatrik/gangguan jiwa berat (post –psychiatrik disorsers)
Pengaruh lingkungan
Kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan

(Sumber : www.cdc.gov)

C. Eidemologi
Data epidemiologi yang tersedia mencakup angka kejadian mikrosefali di beberapa negara atau negara bagian. Di New South Wales angka kejadian mikrosefali pada tahun 1994 tercatat sebesar 0,3 per 1000 kelahiran.2 Data yang di dapat di Georgia menunjukkan bahwa angka kelahiran bayi dengan mikrosefali dari tahun 1989-1994 sebesar 0,04 per 1000 kelahiran.3 Di Minnesota, angka kelahiran bayi dengan mikrosefali primer/kongenital adalah 1 per 40.000 kelahiran (atau 0,025 per 1000 kelahiran).

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD

Senin, 22 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN EFUSI PLEURA

A. Pengertian
Efusi pleura adalah akumulasi cairan yang berlebihan pada rongga pleura, cairan tersebut mengisi ruangan yang mengelilingi paru.

Efusi Pleura adalah pengumpulan cairan di dalam rongga pleura. Rongga pleura adalah rongga yang terletak diantara selaput yang melapisi paru-paru dan rongga dada.

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat cairan berlebihan dirongga pleura, dimana kondisi ini jika dibiarkan akan membahayakan jiwa penderitanya (John Gibson, MD, 1995,Waspadji Sarwono (1999, 786).

Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat berupa cairan transudat atau cairan eksudat (Pedoman Diagnosis danTerapi / UPF ilmu penyakit paru, 1994, 111).

(Sumber : benhhohap.vn)

B. Etiologi
Penyebab efusi pleura biasa bermacam-macam seperti gagal jantung, adanya neoplasma (carcinoma bronchogenic dan akibat metastasis tumor yang berasal dari organ lain), tuberculosis paru, infark paru, trauma, pneumoni, syndrome nefrotik, hipoalbumin dan lain sebagainya. (Allsagaaf H, Amin M Saleh, 1998, 68)Dalam keadaan normal, cairan pleura dibentuk dalam jumlah kecil untuk melumasi permukaan pleura (pleura adalah selaput tipis yang melapisi rongga dada dan membungkus paru-paru). Bisa terjadi 2 jenis efusi yang berbeda.

  1. Efusi pleura transudativa, biasanya disebabkan oleh suatu kelainan pada tekanan normal di dalam paru-paru. Jenis efusi transudativa yang paling sering ditemukan adalah gagal jantung kongestif.
  2. Efusi pleura eksudativa terjadi akibat peradangan pada pleura, yang seringkali disebabkan oleh penyakit paru-paru. Kanker, tuberkulosis dan infeksi paru lainnya, reaksi obat, asbetosis dan sarkoidosis merupakan beberapa contoh penyakit yang bisa menyebabkan efusi pleura eksudativa.
Penyebab lain dari efusi pleura antara lain: gagal jantung, kadar protein darah yang rendah, sirosis, pneumonia, blastomikosis, koksidioidomikosis, tuberculosis, histoplasmosis, kriptokokosis, abses dibawah diafragma, artritis rematoid, pankreatitis, emboli paru, tumor, lupus eritematosus sistemik, pembedahan jantung, cedera di dada, obat-obatan (hidralazin, prokainamid, isoniazid, fenitoin, klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin, dantrolen, prokarbazin), pemasangan selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.

C. Tanda dan gejala
Manifestasi klinik efusi pleura akan tergantung dari jumlah cairan yang ada serta tingkat kompresi paru. Jika jumlah efusinya sedikit (misalnya meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.

(Sumber : aibolita.ru)

Pengkajian Pola Fungsi
  • Pola presepsi dan tata laksana hidup sehat
  • Adanya tindakan medis dan perawatan di rumah sakit mempengaruhi perubahan persepsi tentang kesehatan, tapi kadang juga memunculkan persepsi yang salah terhadap pemeliharaan kesahatan. Kemungkinan adanya riwayat kebiasaan merokok, minum alkohol dan penggunaan obat-obat bisa menjadi faktor predispoaiai timbulnya penyakit.
  • Pola Nutrisi dan metabolisme
    Dalam pengkajian pola nutrisi dan metabolisme, kita perlu melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan untuk mengetahui status nutrisi pasien
    Perlu ditanyakan kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama MRS pasien dengan effusi pleura akan mengalami penurunan nafsu makan akibat dari sesak nafas dan penekanan pada struktur abdomen. Peningkatan metabolisme akan terjadi akibat proses penyakit. pasien dengan efusi pleura keadaan umumnya lemah.
  • Pola eliminasi
    Dalam pengkajian pola eliminasi perlu ditanyakan mengenai kebiasaan defekasi sebelum dan sesudah MRS.Karena keadaan umum pasien yang lemah, pasien akan lebih banyak bed rest sehingga akan menimbulkan konstipasi, selain akibat pencernaan pada struktur abdomenmenyebabkan penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus.
  • Pola aktivitas dan latihan
    Akibat sesak nafas, kebutuhan O2 jaringan akan kurang terpenuhiPasien akan cepat mengalami kelelahan pada aktivitas minimal. Disamping itu pasien juga akan mengurangi aktivitasnya akibat adanya nyeri dada. Untuk memenuhi kebutuhan ADL nya sebagian kebutuhan pasien dibantu oleh perawat dan keluarganya.
  • Pola tidur dan istirahat
    Adanya nyeri dada, sesak nafas dan peningkatan suhu tubuh akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan tidur dan istitahatSelain itu akibat perubahan kondisi lingkungan dari lingkungan rumah yang tenang ke lingkungan rumah sakit, dimana banyak orang yang mondar-mandir, berisik dan lain sebagainya.
  • Pola hubungan dan peran
    Akibat dari sakitnya, secara langsung pasien akan mengalami perubahan peran, misalkan pasien seorang ibu rumah tangga, pasien tidak dapat menjalankan fungsinya sebagai seorang ibu yang harus mengasuh anaknya, mengurus suaminya. Disamping itu, peran pasien di masyarakat pun juga mengalami perubahan dan semua itu mempengaruhi hubungan interpersonal pasien.
  • Pola persepsi dan konsep diri
    Persepsi pasien terhadap dirinya akan berubah. Pasien yang tadinya sehat, tiba-tiba mengalami sakit, sesak nafas, nyeri dada. Pasien mungkin akan beranggapan bahwa penyakitnya adalah penyakit berbahaya dan mematikan.Dalam hal ini pasien mungkin akan kehilangan gambaran positif terhadap dirinya.
  • Pola sensori dan kognitif
    Fungsi panca indera pasien tidak mengalami perubahan, demikian juga dengan proses berpikirnya.
  • Pola reproduksi seksual
    Kebutuhan seksual pasien dalam hal ini hubungan seks intercourse akan terganggu untuk sementara waktu karena pasien berada di rumah sakit dan kondisi fisiknya masih lemah.
  • Pola penanggulangan stress
    Bagi pasien yang belum mengetahui proses penyakitnya akan mengalami stress dan mungkin pasien akan banyak bertanya pada perawat dan dokter yang merawatnya atau orang yang mungkin dianggap lebih tahu mengenai penyakitnya.
  • Pola tata nilai dan kepercayaan
    Sebagai seorang beragama pasien akan lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan dan menganggap bahwa penyakitnya ini adalah suatu cobaan dari Tuhan
UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD

Sabtu, 20 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN MICROCEPHALUS

A. Pengertian
Microcephalus (microcephaly) adalah kondisi yang sangat langka di mana otak tidak tumbuh pada tingkat yang diharapkan dan fisik hasil di lingkar kepala anak yang lebih kecil dari biasanya. Seorang anak dengan Microcephalus mungkin tidak memiliki gejala lain dari ukuran kepala mereka. Seorang anak dengan Microcephalus mungkin memiliki kemampuan yang normal untuk berpikir dan memahami. Setiap anak berbeda dan gangguan mampu mempengaruhi anak-anak dengan cara yang berbeda.

Ada dua jenis Microcephalus; primer dan sekunder. Kedua jenis hasil Microcephalus pada anak yang memiliki kepala kecil, namun gejala lain yang tidak sama.

Microcephalus Primer (hadir sejak lahir) seringkali tidak memiliki gejala-gejala yang terkait, Sedangkan Microcephalus sekunder (berkembang kemudian) dapat memiliki berbagai gejala tergantung pada kondisi yang menyebabkan gangguan tersebut.


(Sumber : med.stanford.edu)

Mikrosefalus adalah kelainan otak dengan ukuran kepala lebih kecil dari ukuran kepala rata-rata berdasarkan umur dan jenis kelamin. Kepala dikatakan lebih kecil jika ukuran lingkar kepala kurang dari 42 cm atau lebih kecil dari standar deviasi 3 dibawah angka rata-rata. Mikrosefalus seringkali terjadi akibat kegagalan pertumbuhan otak pada kecepatan yang normal. Beberapa penyakit yang memengaruhi pertumbuhan otak dapat menyebabkan mikrosefalus. Mikrosefalus seringkali berhubungan dengan keterbelakangan mental. Mikrosefalus dapat terjadi setelah infeksi yang menyebabkan kerusakan pada otak pada bayi yang sangat muda (misalnya meningitis dan meningoensefalitis).

B. Etiologi
Kelainan genetic
kekurangan oksigen setelah paparan kelahiran dan kehamilan
narkoba dan alkohol
Infeksi dan/atau intoxikasi
Rudapaksa dan/atau sebab fisik lain
Gangguan metabolisme, pertumbuhan gizi atau nutrisi
Penyakit otak yang nyuata (kondisi setelah lahir/post natal)
Akibat penyakit atau pengaruh sebelujm lahir (pre-natal) yang tidak diketahui
Akibat kelainan kromosommal
Gangguan saat kehamilan (gestational disorders)
Gangguan pasca psikiatrik/gangguan jiwa berat (post –psychiatrik disorsers)
Pengaruh lingkungan
Kondisi-kondisi lain yang tak tergolongkan

(Sumber : www.cdc.gov)

C. Eidemologi
Data epidemiologi yang tersedia mencakup angka kejadian mikrosefali di beberapa negara atau negara bagian. Di New South Wales angka kejadian mikrosefali pada tahun 1994 tercatat sebesar 0,3 per 1000 kelahiran.2 Data yang di dapat di Georgia menunjukkan bahwa angka kelahiran bayi dengan mikrosefali dari tahun 1989-1994 sebesar 0,04 per 1000 kelahiran.3 Di Minnesota, angka kelahiran bayi dengan mikrosefali primer/kongenital adalah 1 per 40.000 kelahiran (atau 0,025 per 1000 kelahiran).

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD

Jumat, 19 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN ERITROBLASTOSIS FETALIS

A. Pengertian
Eritoblastosis adalah uatu sindroma yang ditandai oleh anemia berat pada janin dikarenakan ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin. Sindroma ini merupakan hasil dari inkompabilitas kelompok darah ibu dan janin terutama pada sistem rhesus.1 Sistem Rhesus merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan masih banyak perdebatan baik mengenai aspek genetika, nomenklatur maupun interaksi antigeniknya. Pada tahun 1932, Diamond, Blackfan dan Baty melaporkan bahwa fetal anemia yang ditunjukkan dengan jumlah eritroblas yang ada dalam sirkulasi darah menggambarkan sindroma ini.

(Sumber : www.emaze.com)

Rhesus positif (rh positif) adalah seseorang yang mempunyai rh-antigen pada eritrositnya sedang Rhesus negatif (rh negatif) adalah seseorang yang tidak mempunyai rh-antigen pada eritrositnya. Antigen pada manusia tersebut dinamakan antigen-D dan merupakan antigen yang berperan penting dalam transfusi. Tidak seperti pada sistem ABO dimana seseorang yang tidak mempunyai antigen A/B akan mempunyai antibodi yang berlawanan dalam plasmanya, maka pada sistem Rhesus pembentukan antibodi hampir selalu oleh suatu paparan apakah itu dari transfusi atau kehamilan. Sistem golongan darah Rhesus merupakan antigen yang terkuat bila dibandingkan dengan sistem golongan darah lainnya. Pemberian darah Rhesus positif (D+) satu kali saja sebanyak ± 0,1 ml secara parenteral pada individu yang mempunyai golongan darah Rhesus negatif (D-) sudah dapat menimbulkan anti Rhesus positif (anti-D) walaupun golongan darah ABOnya sama.

Penyakit hemolisis pada janin dan bayi baru lahir adalah anemia hemolitik akut yang diakibatkan oleh alloimun antibodi (anti-D atau inkomplit IgG antibodi golongan darah ABO) dan merupakan salah satu komplikasi kehamilan. Antibodi maternal isoimun bersifat spesifik terhadap eritrosit janin dan timbul sebagai reaksi terhadap antigen eritrosit janin. Penyebab hemolisis tersering pada neonatus adalah pasase transplasental antibodi maternal yang merusak eritrosit janin.

(Sumber : www.slideshare.net)
Pada tahun 1892, Ballantyne membuat kriteria patologi klinik untuk mengakkan diagnosis hidrops fetalis. Diamond dkk. (1932) melaporkan tentang anemia janin yang ditandai oleh sejumlah eritroblas dalam darah berkaitan dengan hidrops fetalis. Pada tahun 1940, Lansstainer menemukan faktor Rhesus yang berperan dalam patogenesis kelainan hemolisis pada janin dan bayi. Levin dkk (1941) menegaskan bahwa eritroblas disebabkan oleh isoimunisasi maternal dengan faktor janin yang diwariskan secara paternal. Find (1961) dan freda ( 1963) meneliti tentang tindakan profilaksis maternal yang efektif

B. Patofisiologi
Penyakit inkompabilitas Rh dan ABO terjadi ketika sistem imun ibu menghasilkan antibodi yang melawan sel darah merah janin yang dikandungnya. Pada saat ibu hamil, eritrosit janin dalam beberapa insiden dapat masuk kedalam sirkulasi darah ibu yang dinamakan fetomaternal microtransfusion. Bila ibu tidak memiliki antigen seperti yang terdapat pada eritrosit janin, maka ibu akan distimulasi untuk membentuk imun antibodi. Imun anti bodi tipe IgG tersebut dapat melewati plasenta dan kemudian masuk kedalam peredaran darah janin sehingga sel-sel eritrosit janin akan diselimuti (coated) dengan antibodi tersebut dan akhirnya terjadi aglutinasi dan hemolisis, yang kemudian akan menyebabkan anemia (reaksi hipersensitivitas tipe II). Hal ini akan dikompensasi oleh tubuh bayi dengan cara memproduksi dan melepaskan sel-sel darah merah yang imatur yang berinti banyak, disebut dengan eritroblas (yang berasal dari sumsum tulang) secara berlebihan.

(Sumber : clevero)
Produksi eritroblas yang berlebihan dapat menyebabkan pembesaran hati dan limpa yang selanjutnya dapat menyebabkan rusaknya hepar dan ruptur limpa. Produksi eritroblas  ini melibatkan berbagai komponen sel-sel darah, seperti platelet dan faktor penting lainnya untuk pembekuan darah. Pada saat berkurangnya faktor pembekuan dapat menyebabkan terjadinya perdarahan yang banyak dan dapat memperberat komplikasi. Lebih dari 400 antigen terdapat pada permukaan eritrosit, tetapi secara klinis hanya sedikit yang penting sebagai penyebab penyakit hemolitik. Kurangnya antigen eritrosit dalam tubuh berpotensi menghasilkan antibodi jika terpapar dengan antigen tersebut. Antibodi tersebut berbahaya terhadap diri sendiri pada saat transfusi atau berbahaya bagi janin.

C. Gejala Klinis
Terdapat dua gejala klinis utama pada eritroblastosis fetalis, yaitu :

1. Hidrops Fetalis
Hidrops fetalis adalah suatu sindroma ditandai edema menyeluruh pada bayi, asites dan pleural efusi pada saat lahir. Perubahan patologi klinik yang terjadi bervariasi, tergantung intensitas proses. Pada kasus parah, terjadi edema subkutan dan efusi ke dalam kavum serosa (hidrops fetalis). Hemolisis yang berlebihan dan berlangsung lama akan menyebabkan hiperplasia eritroid pada sumsum tulang, hematopoesis ekstrameduler di dalam lien dan hepar, pembesaran jantung dan perdarahan pulmoner. Asites dan hepatosplenomegali yang terjadi dapat menimbulkan distosia akibat abdomen janin yang sangat membesar. Hidrothoraks yang terjadi dapat mengganggu respirasi janin.

2. Hiperbilirubin
Hiperbilirubin dapat menimbulkan gangguan sistem syaraf pusat, khususnya ganglia basal atau menimbulkan kernikterus. Gejala yang muncul berupa letargia, kekakuan ekstremitas, retraksi kepala, strabismus, tangisan melengking, tidak mau menetek dan kejang-kejang. Kematian terjadi dalam usia beberapa minggu.

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD

Kamis, 18 Januari 2018

ASUHAN KEPERAWATAN RHEUMATIC HEART DESEASE

A. Pengertian
Penyakit jantung reumatik adalah penyakit peradangan sistemik akut atau kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Beta Streptococcus Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu : Poliarthritis migrans akut, Karditis, Korea minor, Nodul subkutan dan Eritema marginatum. 
Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral (stenosis katup mitral) sebagai akibat adanya gejala sisa dari Demam Rematik (DR).

(Sumber :commons.wikimedia.org)
Sindroma klinik sebagai akibat infeksi streptococcus Beta hemolitikus group A dengan salah satu atau lebih gejala mayor. Rheumatik Heart Desease ini merupakan :
- Radang akut
- Beta hemolitikus streptococcus A
- Sering pada infeksi pharynx berulang
-  Bersifat asimtomatis
- Usia anak 5 tahun  - 15 tahun
B. Anatomi Fisiologi 
Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat, Maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh kuman Streptococcus Beta Hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurah terarah menyebabkan racun/toxin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran.
(Sumber : pinteres.com)
C. Etiologi
Faktor-faktor pada indicvidu
  1. Faktor Genetik
Adanya antigen limfosit manusia ( HLA ) yang tinggi. HLA terhadap demam rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus. 
  1. Jens Kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih sering ditemukan pada satu jenis kelamin
  1. Golongan etnik dan ras
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya
  1. Umur
    Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8 tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun
  2. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik
  1. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian dinding sel streptokokus beta hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada reumatik fever.
Faktor-faktor lingkungan
  1. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor yang memudahkan timbulnya demam reumatik
  1. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi, lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
  1. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik juga meningka. 


Infeksi pada saluran pernapasan yang ditimbulkan oleh sejenis kuman, maka antigen yang terdapat dalam kuman tersebut bentuknya bermacam-macam jenis protein yang akan menimbulkan antibodi. Mengandalkan antigen antibod reaction akan terbentuk Ag-Ab complek yang akan terdefosit pada jaringan ikat, terutama jaringan ikat synovial, endocardium, pericardium, pleura sehingga menyebabkan reaksi radang granulomatous spesifik (Aschoff bodies), gejala yang ditimbulkan bervariasi.

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD