Rabu, 29 Agustus 2018

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK BALITA HIPERBILIRUBINEMIA

PENGERTIAN
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.

Perawatan Ikterus  berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti ; pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksi  (misal; luminal) pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti.

(Annasya Nurmaulina Prima 0 Bulan)
Asuhan keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah. 
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan dalam memberikan asuhan  keperawatan secara paripurna. Untuk itu  dalam penulisan makalah ini mempunyai maksud :
  • Agar perawat memiliki intelektual dan mampu menguasai ketrampilan dan tehnik terutama yang berkaitan dengan perawatan klien dan keluarga dengan bayi  Ikterus (Hiperilirubinemia),
  • Agar Perawat mampu mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam proses perawatan selama di Rumah Sakit dan perewatan lanjutan di rumah.
Atas dasar hal tersebut diatas maka kami menyusun makalah dengan judul ”Asuhan Keperawatan dan Aplikasi Discharge Planing pada klien dengan Bayi Hiperbilirubinemia”
Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana memberikan Asuhan Keperawatan    pada  klien dengan bayi  Hyperbilirubinemia  yang mendapat  Fototherapi.

Dalam penulisan makalah ini kami  menggunakan metode Studi Kepustakaan, wawancara, Partisipasi Aktif dalam pemberian Asuhan Keperawatan.

ETIOLOGI
1. Peningkatan produksi :
  • Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian  golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
  • Pendarahan tertutup  misalnya pada trauma kelahiran.
  • Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan  metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
  • Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
  • Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
  • Kurangnya  Enzim Glukoronil  Transeferase , sehingga  kadar Bilirubin Indirek  meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
  • Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan  misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.

3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme  atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati  dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.

4. Gangguan ekskresi  yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.

5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstrukti

METABOLISME BILIRUBIN
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi  Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).

Pada bayi yang normal dan sehat  serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

PATOFISIOLOGI HIPERBILIRUBINEMIA
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari  20 mg/dl.

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.  Bilirubin  Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi  terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

FOTOTHERAPI
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.

Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa  ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD ASKEP KOMPLIT

DAFTAR PUSTAKA
H. Markum : ” Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, Jakarta, FKUI, 1991.
Bobak, J. : ”Materity and Gynecologic Care”, Precenton, 1985.
Cloherty, P. John : ”Manual of Neonatal Care”, USA, 1981.
Harper : ”Biokimia”, Jakarta, EGC, 1994.
Jack A. Pritchard dkk : ”Obstetri Williams”, Edisi XVII, Surabaya, Airlangga University Press, 1991
Marlene Mayers, et. al. : ”Clinical Care Planes Pediatric Nursing”, New York, Mc.Graw-Hill. Inc, 1995.
Mary Fran Hazinki : ”Nursing Care of Critically Ill Child”, Toronto, The Mosby Compani CV, 1984.
Susan R. J. et. al. : ”Child Health Nursing”, California, 1988.                                                                     

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK BALITA IKTERUS

PENGERTIAN
Ikterus merupakan suatu gejala yang sering ditemukan pada Bayi Baru Lahir (BBL). Menurut beberapa penulis kejadian ikterus pada BBL berkisar 50 % pada bayi cukup bulan dan 75 % pada bayi kurang bulan.

Perawatan Ikterus  berbeda diantara negara tertentu, tempat pelayanan tertentu dan waktu tertentu. Hal ini disebabkan adanya perbedaan pengelolaan pada BBL, seperti ; pemberian makanan dini, kondisi ruang perawatan, penggunaan beberapa propilaksi  (misal; luminal) pada ibu dan bayi, fototherapi dan transfusi pengganti.

(Annasya Nurmaulina Prima)
Asuhan keperawatan pada klien selama post partum juga terlalu singkat, sehingga klien dan keluarga harus dibekali pengetahuan, ketrampilan dan informasi tempat rujukan, cara merawat bayi dan dirinya sendiri selama di rumah sakit dan perawatan di rumah. 
Perawat sebagai salah satu anggota tim kesehatan mempunyai peranan dalam memberikan asuhan  keperawatan secara paripurna. Untuk itu  dalam penulisan makalah ini mempunyai maksud :
  • Agar perawat memiliki intelektual dan mampu menguasai ketrampilan dan tehnik terutama yang berkaitan dengan perawatan klien dan keluarga dengan bayi  Ikterus (Hiperilirubinemia),

  • Agar Perawat mampu mempersiapkan klien dan keluarga ikut serta dalam proses perawatan selama di Rumah Sakit dan perewatan lanjutan di rumah.
Atas dasar hal tersebut diatas maka kami menyusun makalah dengan judul ”Asuhan Keperawatan dan Aplikasi Discharge Planing pada klien dengan Bayi Hiperbilirubinemia”
Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana memberikan Asuhan Keperawatan    pada  klien dengan bayi  Hyperbilirubinemia  yang mendapat  Fototherapi.

Dalam penulisan makalah ini kami  menggunakan metode Studi Kepustakaan, wawancara, Partisipasi Aktif dalam pemberian Asuhan Keperawatan.

ETIOLOGI
1. Peningkatan produksi :
  • Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian  golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
  • Pendarahan tertutup  misalnya pada trauma kelahiran.
  • Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan  metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
  • Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
  • Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
  • Kurangnya  Enzim Glukoronil  Transeferase , sehingga  kadar Bilirubin Indirek  meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
  • Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan  misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine.

3. Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme  atau toksion yang dapat langsung merusak sel hati  dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Siphilis.

4. Gangguan ekskresi  yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.

5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstrukti

METABOLISME BILIRUBIN
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi  Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site).

Pada bayi yang normal dan sehat  serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.

PATOFISIOLOGI HIPERBILIRUBINEMIA
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.

Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.

Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari  20 mg/dl.

Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus.  Bilirubin  Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi  terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

FOTOTHERAPI
Fototherapi dapat digunakan sendiri atau dikombinasi dengan Transfusi Pengganti untuk menurunkan Bilirubin. Memaparkan neonatus pada cahaya dengan intensitas yang tinggi ( a boun of fluorencent light bulbs or bulbs in the blue-light spectrum) akan menurunkan Bilirubin dalam kulit. Fototherapi menurunkan kadar Bilirubin dengan cara memfasilitasi eksresi Biliar Bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini terjadi jika cahaya yang diabsorsi jaringan mengubah Bilirubin tak terkonjugasi menjadi dua isomer yang disebut Fotobilirubin. Fotobilirubin bergerak dari jaringan ke pembuluh darah melalui mekanisme difusi. Di dalam darah Fotobilirubin berikatan dengan Albumin dan dikirim ke Hati. Fotobilirubin kemudian bergerak ke Empedu dan diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch 1984). Hasil Fotodegradasi terbentuk ketika sinar mengoksidasi Bilirubin dapat dikeluarkan melalui urine.

Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.

Secara umum Fototherapi harus diberikan pada kadar Bilirubin Indirek 4 -5 mg / dl. Neonatus yang sakit dengan berat badan kurang dari 1000 gram harus di Fototherapi dengan konsentrasi Bilirubun 5 mg / dl. Beberapa  ilmuan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.

UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD ASKEP KOMPLIT

DAFTAR PUSTAKA
H. Markum : ” Ilmu Kesehatan Anak”. Buku I, Jakarta, FKUI, 1991.
Bobak, J. : ”Materity and Gynecologic Care”, Precenton, 1985.
Cloherty, P. John : ”Manual of Neonatal Care”, USA, 1981.
Harper : ”Biokimia”, Jakarta, EGC, 1994.
Jack A. Pritchard dkk : ”Obstetri Williams”, Edisi XVII, Surabaya, Airlangga University Press, 1991
Marlene Mayers, et. al. : ”Clinical Care Planes Pediatric Nursing”, New York, Mc.Graw-Hill. Inc, 1995.
Mary Fran Hazinki : ”Nursing Care of Critically Ill Child”, Toronto, The Mosby Compani CV, 1984.
Susan R. J. et. al. : ”Child Health Nursing”, California, 1988.                                                                     

Jumat, 20 Juli 2018

ASUHAN KEPERAWATAN ANAK ESOPHAGEAL ATRESIA

A. Latar Belakang
Atresia esophagus merupakan suatu kelainan kongenital yang penyebabnya tidak diketahui secara pasti tetapi biasanya ditemukan pada riwayat kehamilan dengan adanya hidramnion. Ditemukan angka kejadian dari atresia esophagus 1 banding 200 dari 5000 kelahiran hidup.
(Sumber gambar : cookmedical.com)
Saat mahasiswa praktek di ruang PBRT didapatkan bayi yang dicurigai adanya atresia esophagus karena terdapat data-data yang mendukung terjadinya atresia esophagus. Karena kejadian ini merupakan kejadian yang jarang ditemui, karena itu mahasiswa tertarik untuk melakukan asuhan keperawatan pada bayi dengan atresia esophagus.

B. Tujuan
Tujuan umum:
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan atresia esophagus.
Tujuan khusus:
- Mahasiswa dapat mejelaskan pengertian dari atresia esophagus.
- Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab dari atresia esophagus
- Mahasiswa dapat mejelaskan patofisiologi dari atresia esophagus.
- Mahasiswa dapat mejelaskan tanda dan gejala atresia esophagus
- Mahasiswa dapat melakukan pengkajian dari atresia esophagus
- Mahasiswa dapat melakukan analisa data dari atresia esophagus
- Mahasiswa dapat melakukan diagnosa keperawatan dari atresia esophagus
- Mahasiswa dapat melakukan rencana keperawatan dari atresia esophagus
- Mahasiswa dapat melakukan implementasi serta evaluasi dari atresia esophagus

C. Pengertian
Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang lebih distal dari usus (umumnya, invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens).  (Nettina, 2002)

Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999)

(Sumber : nature.com)

D. Etiologi
Penyebab dari kebanyakan intususepsi tidak diketahui. Terdapat hubungan dengan infeksi – infeksi virus adeno dan keadaan tersebut dapat mempersulit gastroenteritis. Bercak – bercak peyeri yang banyak terdapat di dalam ileum mungkin berhubungan dengan keadaan tersebut, bercak jaringan limfoid yang membengkak dapat merangsang timbulnya gerakan peristaltic usus dalam upaya untuk mengeluarkan massa tersebut sehingga menyebabkan intususepsi.  Pada puncak insidens penyakit ini, saluran cerna bayi juga mulai diperkenalkan dengan bermacam bahan baru. Pada sekitar 5% penderita  dapat ditemukan penyebab – penyebab yang dikenali, seperti divertikulum meckeli terbalik, suatu polip usus, duplikasi atau limfosarkoma. Secara jarang, keadaan ini akan mempersulit purpura Henoch – Schonlein dengan sutau hematom intramural yang bertindak sebagai puncak dari intususepsi. Suatu intususepsi pasca pembedahan jarang dapat didiagnosis, intususepsi – intususepsi ini bersifat iloileal.

E. Patofisiologi
Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal. Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus, intususeptum, berinvaginasi ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi mesentrium sehingga menghalangi aliran darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid bahkan ke anus pada kasus – kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan, maka bagian usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat mengakibatkan gangren usus dan syok.

F. Manifestasi Kilinik
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap awal muncul gejala strangulasi berupa nyeri perut hebat yang tiba – tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali normal di antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan/minuman yang masuk dan keluarnya darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum. Pada palpasi abdomen dapat teraba massa yang umumnya berbentuk seperti pisang (silindris).

Dalam keadaan lanjut muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau fekal, sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah rektum, pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus, disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.


UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD ASKEP KOMPLIT

DAFTAR PUSTAKA

Staf Pengajar Ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, 1985

Pilliteri, Adele. Child health nursing, care of the child and family, Los Angeles California, Lippincott, 1999

Wong, Donna L, Marilyn Hockenberry- Eaton, Wilson- Winkelstein, Wong’s essentials of pediatric nursing, America, Mosby, 2001

Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan,dkk. Jakarta, 2001

Wong, Donna L. Wong and Whaley’s clinical Manual Of Pediatric Nursing. St. Louis Nissori: Mosby, 1996  

Kamis, 19 Juli 2018

ASUHAK KEPERAWATAN ANAK PRA SEKOLAH DENGAN ASMA BRONKIAL

A. Definisi
Asma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD), adalah suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas secara riversibel yang ditandai dengan bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan.

(Sumber : penyakitbatuginjalherba)

B. Pembagian Asma Pada Anak
1. Asma episode yang jarang.
Biasanya terdapat pada anak umur 3 – 8 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran nafas bagian atas. Banyaknya serangan 3 – 4 kali dalam 1 tahun. Lamanya serangan dapat beberapa hari, jarang merupakan serangan yang berat.

Gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung kurang dari 3-4 hari, sedang batuk-batuknya dapat berlangsung 10 – 14 hari. Manifestasi alergi lainya misalnya, eksim jarang terdapat pada golongan ini. Tumbuh kembang anak biasanya baik, diluar serang tidak ditemukan kelainan. Waktu remisi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Golongan ini merupakan 70 – 75 % dari populasi asma anak.

2. Asma Episode yang sering
Pada 2/3 golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut. Pada umur 5 – 6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkan dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Banyak yang tidak jelas pencetusya. Frekwensi serangan 3 – 4 kali dalam 1 tahun, tiap serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekwensi serangan paling tinggi pada umur 8 – 13 tahun. Pad golongan lanjut  kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik ataui persisten. Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang akan mengganggu tidurnya. Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung frekwensi serangan. Jika waktu serangan lebih dari 1 – 2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay Fever dapat ditemukan pada golongan asma kronik atau persisten. Gangguan pertumbuhan jarang terjadi . Golongan ini merupakan 2-0 % dari populasi asma pada anak.

3. Asma kronik atau persisten.
Pada 25 % anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan; 75 % sebelum umur 3 tahun. Pada lebih adari 50 % anak terdpat mengi yang lama pada dua tahun pertama, dan 50 % sisanya serangannya episodik. Pada umur 5 – 6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran nafas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari; malam hari terganggu oleh batuk dan mengi. Aktivitas fisik sering menyebabkan mengi. Dari waktui ke waktu terjadiserangan yang berat dan sering memerlukan perawatan di rumah sakit.

Terdapat juga gologan yang jarang mengalami serangan berat, hanya sesak sedikit dan mengisepanjang waaktu. Biasanya setelah mendapatkan penangan anak dan orang tua baru menyadari mengenai asma pada anak dan masalahnya. Obstruksi jalan nafas mencapai puncakya pada umur 8 – 14 tahun, baru kemudian terjadi perubahan, biasanya perbaikan. Pada umur dewasa muda 50 % golongan ini  tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik jarang yang normal; dapat terjadi perubahan bentuk thoraks seperti dada burung (Pigeon Chest), Barrel Chest dan terdapat sulkus Harison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan yakni, bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisik kurangsekali, sering tidak dapat melakukan olah raga dan kegiatan lainya. Juga sering tidak masuk sekolah hingga prestasi belajar terganggu. Sebagian kecil ada mengalami gangguan psiko sosial.

C. Pencetus
1. Alergen.
tor allergi dianggap mempunyai peranan pad sebgian besar anak dengan asma. Disamping itu hiper reaktivitas saluran nafas juga merupakan faktor yang penting. Bila tingkat hiper reaktivitas bronchus tinggi, diperlukan jumlah allergen yang sedikit dansebaliknya jika hiper reaktivitas rendah diperlukan jumlah antigen yang lebih tinggi untuk menimbulkan serangan asma.


Sensitisasi tergantung pada lama dan intnsitas hubungan dengan bahan alergen berhubungan dengan umur. Bayidan anak kecil sering berhubungan dengan sisi dari debu rumah, misalnya tungau, serpih atau bulu binatang, spora jamur yang terdapat di rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis allergen pencetusnya. Asma karena makanan sering terjadi pada bayi dan anak kecil. 

2. Infeksi.
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak. Virus yang menyebabkan ialah respiratory syncytial virus (RSV) dan virus para influenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya; pertusis dan streptokokus, jamur, misalnya Aspergillus dan parasit seperti Askaris.

3. Iritan.
Hair spray, minyak wangi, semprot nyamuk, asap rokok, bau tajam dari cat, SO dan polutan udara lainya dapat memacu serangan asma. Iritasi hidung dan batuksendiri dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi.

4. Cuaca.
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin dan kelembaban udara berhubungan dengan  percepatan dan terjadinya serangan asma

5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani berat, misalnya berlari atau naik sepeda dapat memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang berlebihan dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru di bawah optimal amat rentan terhadap kegiatan jasmani.

6. Infeksi saluran nafas.
Infeksi virus pada sinus, baik sinusitis akut maupun kronis dapat memudahkan terjadinya sma pada anak. Rinitis alergika dapat memberatkan asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.  

7. Faktor psikis.
Faktor psikis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan sangat kompleks. Tidak adanya perhatian dan / atau tidak mau mengakui persolan yang berhubungan dengan  asma oleh anak sendiri / keluarganya akan menggagalkan usaha pencegahan. Sebaliknya terlalu takut terhadap adanya serangan atau hari depan anak juga dapat memperberat 

8. serangan asma.
Serangan asma dapat timbul disebabkan berbagai pencetus bersamaan misalnya pada anak dengan pencetus alergen sering disertai pencetus non allergen yang dapat mempercepat dan memperburuk serangan. Faktor pencetus adalah alergen dan infeksi; diduga infeksi virus memperkuat reaksi pencetus alergenik maupun non alergenik. Serangan dapat terjadi pada seorang anak setelah mendapat infrksi virus pada saluran nafas atas kemudian berlari-lari pada udara dingin.

D. Patofisiologi
  • Asma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain.
  • Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul (immunoglobulin E atau IgE) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamin dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asthma.
  • Respon astma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai dengan bronkokontriksi (1-2 jam); tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan peradangan dan  hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan.
  • Asma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan, dan udara dingin.
  • Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan
  • Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas.Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas.Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi 02,sehingga terjadi penurunan P02 (hipoxia).
    Selama serangan astmatikus, CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2 dalam darah (hypocapnea).
UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD


DAFTAR PUSTAKA

Panitia Media Farmasi dan Terapi. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya
Soetjiningsih. (1998). Tumbuh kembang anak . Cetakan kedua. EGC. Jakarta
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika Jakarta.
Suriadi dan Yuliana R.(2001) Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1 Penerbit CV Sagung Seto Jakarta.

Kamis, 12 Juli 2018

ASUHAN KEPERAWATAN ASTHMA BRONCHIAL

A. Definisi
Asma disebut juga sebagai reactive air way disease (RAD), adalah suatu penyakit obstruksi pada jalan nafas secara riversibel yang ditandai dengan bronchospasme, inflamasi dan peningkatan sekresi jalan napas terhadap berbagai stimulan.


(Sumber : diansevdianaherbal.com)
B. Pembagian Asma Pada Anak
1. Asma episode yang jarang.
Biasanya terdapat pada anak umur 3 – 8 tahun. Serangan umumnya dicetuskan oleh infeksi virus saluran nafas bagian atas. Banyaknya serangan 3 – 4 kali dalam 1 tahun. Lamanya serangan dapat beberapa hari, jarang merupakan serangan yang berat.

Gejala yang timbul lebih menonjol pada malam hari. Mengi dapat berlangsung kurang dari 3-4 hari, sedang batuk-batuknya dapat berlangsung 10 – 14 hari. Manifestasi alergi lainya misalnya, eksim jarang terdapat pada golongan ini. Tumbuh kembang anak biasanya baik, diluar serang tidak ditemukan kelainan. Waktu remisi berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Golongan ini merupakan 70 – 75 % dari populasi asma anak.

2. Asma Episode yang sering
Pada 2/3 golongan ini serangan pertama terjadi pada umur sebelum 3 tahun. Pada permulaan, serangan berhubungan dengan infeksi saluran nafas akut. Pada umur 5 – 6 tahun dapat terjadi serangan tanpa infeksi yang jelas. Biasanya orang tua menghubungkan dengan perubahan udara, adanya alergen, aktivitas fisik dan stress. Banyak yang tidak jelas pencetusya. Frekwensi serangan 3 – 4 kali dalam 1 tahun, tiap serangan beberapa hari sampai beberapa minggu. Frekwensi serangan paling tinggi pada umur 8 – 13 tahun. Pad golongan lanjut  kadang-kadang sukar dibedakan dengan golongan asma kronik ataui persisten. Umumnya gejala paling jelek terjadi pada malam hari dengan batuk dan mengi yang akan mengganggu tidurnya. Pemeriksaan fisik di luar serangan tergantung frekwensi serangan. Jika waktu serangan lebih dari 1 – 2 minggu, biasanya tidak ditemukan kelainan fisik. Hay Fever dapat ditemukan pada golongan asma kronik atau persisten. Gangguan pertumbuhan jarang terjadi . Golongan ini merupakan 2-0 % dari populasi asma pada anak.

3. Asma kronik atau persisten.
Pada 25 % anak golongan ini serangan pertama terjadi sebelum umur 6 bulan; 75 % sebelum umur 3 tahun. Pada lebih adari 50 % anak terdpat mengi yang lama pada dua tahun pertama, dan 50 % sisanya serangannya episodik. Pada umur 5 – 6 tahun akan lebih jelas terjadinya obstruksi saluran nafas yang persisten dan hampir selalu terdapat mengi setiap hari; malam hari terganggu oleh batuk dan mengi. Aktivitas fisik sering menyebabkan mengi. Dari waktui ke waktu terjadiserangan yang berat dan sering memerlukan perawatan di rumah sakit.

Terdapat juga gologan yang jarang mengalami serangan berat, hanya sesak sedikit dan mengisepanjang waaktu. Biasanya setelah mendapatkan penangan anak dan orang tua baru menyadari mengenai asma pada anak dan masalahnya. Obstruksi jalan nafas mencapai puncakya pada umur 8 – 14 tahun, baru kemudian terjadi perubahan, biasanya perbaikan. Pada umur dewasa muda 50 % golongan ini  tetap menderita asma persisten atau sering. Jarang yang betul-betul bebas mengi pada umur dewasa muda. Pada pemeriksaan fisik jarang yang normal; dapat terjadi perubahan bentuk thoraks seperti dada burung (Pigeon Chest), Barrel Chest dan terdapat sulkus Harison. Pada golongan ini dapat terjadi gangguan pertumbuhan yakni, bertubuh kecil. Kemampuan aktivitas fisik kurangsekali, sering tidak dapat melakukan olah raga dan kegiatan lainya. Juga sering tidak masuk sekolah hingga prestasi belajar terganggu. Sebagian kecil ada mengalami gangguan psiko sosial.

C. Pencetus
1. Alergen.
tor allergi dianggap mempunyai peranan pad sebgian besar anak dengan asma. Disamping itu hiper reaktivitas saluran nafas juga merupakan faktor yang penting. Bila tingkat hiper reaktivitas bronchus tinggi, diperlukan jumlah allergen yang sedikit dansebaliknya jika hiper reaktivitas rendah diperlukan jumlah antigen yang lebih tinggi untuk menimbulkan serangan asma.

Sensitisasi tergantung pada lama dan intnsitas hubungan dengan bahan alergen berhubungan dengan umur. Bayidan anak kecil sering berhubungan dengan sisi dari debu rumah, misalnya tungau, serpih atau bulu binatang, spora jamur yang terdapat di rumah. Dengan bertambahnya umur makin banyak jenis allergen pencetusnya. Asma karena makanan sering terjadi pada bayi dan anak kecil. 

2. Infeksi.
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak. Virus yang menyebabkan ialah respiratory syncytial virus (RSV) dan virus para influenza. Kadang-kadang karena bakteri misalnya; pertusis dan streptokokus, jamur, misalnya Aspergillus dan parasit seperti Askaris.

3. Iritan.
Hair spray, minyak wangi, semprot nyamuk, asap rokok, bau tajam dari cat, SO dan polutan udara lainya dapat memacu serangan asma. Iritasi hidung dan batuksendiri dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi.

4. Cuaca.
Perubahan tekanan udara, perubahan suhu udara, angin dan kelembaban udara berhubungan dengan  percepatan dan terjadinya serangan asma

5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani berat, misalnya berlari atau naik sepeda dapat memicu serangan asma. Bahkan tertawa dan menangis yang berlebihan dapat merupakan pencetus. Pasien dengan faal paru di bawah optimal amat rentan terhadap kegiatan jasmani.

6. Infeksi saluran nafas.
Infeksi virus pada sinus, baik sinusitis akut maupun kronis dapat memudahkan terjadinya sma pada anak. Rinitis alergika dapat memberatkan asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.  

7. Faktor psikis.
Faktor psikis merupakan pencetus yang tidak boleh diabaikan dan sangat kompleks. Tidak adanya perhatian dan / atau tidak mau mengakui persolan yang berhubungan dengan  asma oleh anak sendiri / keluarganya akan menggagalkan usaha pencegahan. Sebaliknya terlalu takut terhadap adanya serangan atau hari depan anak juga dapat memperberat 

8. serangan asma.
Serangan asma dapat timbul disebabkan berbagai pencetus bersamaan misalnya pada anak dengan pencetus alergen sering disertai pencetus non allergen yang dapat mempercepat dan memperburuk serangan. Faktor pencetus adalah alergen dan infeksi; diduga infeksi virus memperkuat reaksi pencetus alergenik maupun non alergenik. Serangan dapat terjadi pada seorang anak setelah mendapat infrksi virus pada saluran nafas atas kemudian berlari-lari pada udara dingin.

D. Patofisiologi
  • Asma pada anak terjadi adanya penyempitan pada jalan nafas dan hiperaktif dengan respon terhadap bahan iritasi dan stimulus lain.
  • Dengan adanya bahan iritasi atau allergen otot-otot bronkus menjadi spasme dan zat antibodi tubuh muncul (immunoglobulin E atau IgE) dengan adanya alergi. IgE di muculkan pada reseptor sel mast dan akibat ikatan IgE dan antigen menyebabkan pengeluaran histamin dan zat mediator lainnya. Mediator tersebut akan memberikan gejala asthma.
  • Respon astma terjadi dalam tiga tahap : pertama tahap immediate yang ditandai dengan bronkokontriksi (1-2 jam); tahap delayed dimana brokokontriksi dapat berulang dalam 4-6 jam dan terus-menerus 2-5 jam lebih lama ; tahap late yang ditandai dengan peradangan dan  hiperresponsif jalan nafas beberapa minggu atau bulan.
  • Asma juga dapat terjadi faktor pencetusnya karena latihan, kecemasan, dan udara dingin.
  • Selama serangan asthmatik, bronkiulus menjadi meradang dan peningkatan sekresi mukus. Hal ini menyebabkan lumen jalan nafas menjadi bengkak, kemudian meningkatkan resistensi jalan nafas dan dapat menimbulkan distres pernafasan
  • Anak yang mengalami astma mudah untuk inhalasi dan sukar dalam ekshalasi karena edema pada jalan nafas.Dan ini menyebabkan hiperinflasi pada alveoli dan perubahan pertukaran gas.Jalan nafas menjadi obstruksi yang kemudian tidak adekuat ventilasi dan saturasi 02,sehingga terjadi penurunan P02 (hipoxia).
    Selama serangan astmatikus, CO2 tertahan dengan meningkatnya resistensi jalan nafas selama ekspirasi, dan menyebabkan acidosis respiratory dan hypercapnea. Kemudian sistem pernafasan akan mengadakan kompensasi dengan meningkatkan pernafasan (tachypnea), kompensasi tersebut menimbulkan hiperventilasi dan dapat menurunkan kadar CO2 dalam darah (hypocapnea).
UNTUK BACA SELENGKAPNYA SILAHKAN KLIK DOWNLOAD


DAFTAR PUSTAKA

Panitia Media Farmasi dan Terapi. (1994). Pedoman Diagnosis dan Terapi LAB/UPF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga. Surabaya
Soetjiningsih. (1998). Tumbuh kembang anak . Cetakan kedua. EGC. Jakarta
Staff Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI. (1985). Ilmu Kesehatan Anak. Percetakan Infomedika Jakarta.
Suriadi dan Yuliana R.(2001) Asuhan Keperawatan pada Anak. Edisi 1 Penerbit CV Sagung Seto Jakarta.

Kamis, 28 Juni 2018

ASUHAN KEPERAWATAN APENDIKSITIS

LATAR BELAKANG
Apendiksitis merupakan suatu keadaan yang sering terjadi dan membutuhkan operasi kegawatan perut pada anak. Diagnosisnya sulit pada anak-anak, merupakan faktor yang memberikan angka perforasi 30-60%. Resiko untuk perforasi terbanyak pada anak usia 1-4 tahun (70-75%) dan terendah pada remaja (30-40%), yang insiden tertingginya menurut umur adalah masa anak. Kejadian apendiksitis meningkat dengan bertambahnya usia, memuncak pada remaja dan jarang terjadi pada anak kurang dari 1 tahun.

(Sumber : fasthomeremedy.com)
Perjelekan sejak mulainya gejala sampai perforasi biasanya terjadi setelah 36-48 jam. Jika diagnosis terlambat setelah 36-48 jam, angka perforasi menjadi 65%.


Berdasarkan hal tersebut, peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan sangat penting untuk meminimalkan dampak penyakit yang lebih lanjut.

TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti program pendidikan belajar (PBK) pada stase anak, saya mampu memberikan asuhan keperawatan pada anak dengan post apendiktomi.

TUJUAN KHUSUS
Dapat melakukan pengkajian, analisa data, memprioritaskan diagnosa keperawatan serta melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan post apendiktomi

A. Definisi
Appendisitis adalah peradangan dari appendiks vermoformis (kantung buntu diujung sekum). (Donna L Wong, 2004)

B. Patofisiologi
Hiperplasia folikel limfoid, fekalid, cacing, striktur, kanker dapat menyebabkan obstruksi apendik  yang mengakibatkan mukus yang diproduksi mukosa terbendung. Makin lama mukus yang terbendung makin banyak dan menekan dinding apendiks sehingga mengganggu aliran limfe dan menyebabkan dinding apendiks oedem, serta merangsang tonika serosa dan peritonium veceral. Persarafan  appendiks sama dengan usus, yaitu torakal X (vagus) maka rangsangan itu dirasakan sebagai rasa sakit sekitar umbilikus, mukus yang terkumpul lalu terinfeksi oleh bakteri dan menjadi nanah, kemudian timbul gangguan aliran vena, sedangkan arteri belum terganggu peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritonium bawah. Bila dinding appendiks yang telah rapuh pecah maka dinamakan appendikitis perforasi. Pada anak-anak karena omentum masih pendek dan tipis, appendiks yang relatif lebih panjang, dinding apendiks yang lebih tipis dan daya tahan tubuh yang madsih kurang, maka perforasi akan lebih cepat

C. Manifestasi Klinik
Gejala utama dari appendiks adalah nyeri perut, rasa sakit ini disebabkan karena penyumbatan appendiks. Pada mulanya nyeri perut ini hilang timbul dan terasa di epigastrium atau regioumbilukus. Tiga gejala klasik terdiri atas nyeri, mual dan panas, Biasanya disertai anorexia, dan muntah, diare jarang terjadi  terdiri dari sedikit tinja berlendir yang disebabkan oleh iritasi kolon sigmoid. Jika terjadi iritasi pada kandung kemih bisa menimbulkan gejala kencing seperti sering dan terburu-buru.

Bila proses radang telah menjalar ke peritonium perietal setempat, maka akan timbul nyeri lokal pada perut kanan bawah didaerah Mc. Burney seperti nyeri tekan. Pada perforasi, nyeri menjadi menyeluruh.

Gejala umum lainnya adalah bising usus menurun atau hilang sama sekali, demam, mula-mula demam tidak begitu tinggi tetapi menjadi hiperpireksia bila terjadi perforasi, bila proses appendiksitis menjadi kronis maka gejala-gejala menjadi tidak jelas.

D. Pemeriksaan Penunjang
- Hitung darah lengkap, didapatkan leukositosis, neutropilia.
- Ultrasound, didapatkan fekalit nonkalsifikasi, apendiks nonperforasi, abses apendiks.
- Pemeriksaan foto abdomen, didapatkan fekalit berkalsifikasi.

E. Focus Pengkajian
Anamnesis dan pemeriksaan fisik diarahkan pada penentuan tanda apendiksitis.
Aspek yang terkait riwayat yang mendukung diagnosis apendiksitis meliputi mulainya nyeri sebelum muntah dan diare, kehilangan nafsumakan, berpindahnya nyeri dari periumbilikus ke kuadran kanan bawah dan nyeri bertambah parah dengan pergerakan.

Pemeriksaan fisik harus dimulai dengan inspeksi tingkah laku anak dan keadaan perutnya. Anak dengan apendiksitis sering bergerak dengan berlahan dan terbatas, membungkuk ke depan dan sedikit pincang. Anak tersebut akan memegang kuadran kanan bawah. Perut kembung menunukkan suatu komplikasi seperti perforasi/obstruksi. Auskultasi bisa menunjukkan suara usus abnormal (hipoaktif) ketika terjadi perforasi.

Palpasi abdomen harus dilakukan dengan lembut, kuadran kanan bawah (titik McBurney, yaitu perpotongan lateral dan duapertiga dari garis yang menghubungkan spina iliaka superior anterior kanan dan umbilikus). Tanda fisik yang paling penting pada apendiksitis adalah nyeri tekan menetap pada saat palpasi.

Observasi adanya tanda-tanda peritonitis.
Tanda terjadinya perforasi adalah demam, hilangnya nyeri secara tiba-tiba setelah perforasi, peningkatan nyeri yang biasanya menyebar dan disertai kaku abdomen, distensi abdmen progresif,  menggigil.

F. Focus Intervensi
Resiko tinggi penyebaran infeksi berhubungan dengan adanya organisme infektif didalam abdomen, perforasi pada apendiks.
Kriteria hasil :
meningkatnya penyembuhan luka dengan benar,  bebas tanda infeksi atau inflamasi.

Intervensi :
- Pantau tanda-tanda vital dan jumlah leukosit.
- Perhatikan adanya demam, menggigil, berkeringat, meningkatnya nyeri abdomen.
- Beri perawatan luka dan penggantian balutan dengan menggunakan teknik septik.
- Minotor insisi dan balutan.
- Catat karakteristik drainase luka, adanya eritema.
- Beri antibiotik sesuai ketentuan.

Gangguan rasa nyaman :
nyeri berhubungan dengan diskontinuitas jaringan.
Kriteria hasil :
nyeri dapat terkontrol, tampak rileks, dapat tidur secara cukup.
Intervensi :
- Lakukan strategi nonfarmakologi untuk membantu anak mengatasi nyeri.
- Gunakan strategi yang dikenal anak atau gambarkan beberapa strtegi dan biarkan anak memilih salah satunya.
Libatkan orang tua dalam pemilihan strategi.
- Minta orang tua untuk membantu anak dengan menggunakan strategi selama nyeri aktual.
- Beri obat analgesik sesuai ketentuan.
Resiko tinggi cidera berhubungan dengan tidak adanya motilitas usus.

Kriteria hasil :
anak tidak menunjukkan tanda-tanda ketidaknyamanan, abdomen tetap lunak dan tidak distensi, anak tidak muntah
Intervensi     :
- Pertahankan puasa pada pascaoperasi.
- Pertahankan dekompresi selang NGT
- Kaji abdomen untuk adanya distensi, nyeri tekan dan bising usus.
- Pantau keluarnya flatus dan feses.

G. Intervensi Pasca Bedah
Cegah dan pantau adanya distensi abdomen :
- Puasa
- Pertahankan tetap terbukanya tuba nasogastrik
- Kaji ketegangan dinding abdomen (keras, lunak)
- Cegah penyebab infeksi
- Lakukan perawatan luka sesuai indikasi dan pembuangan balutan yang benar.
- Berikan isolasi universal
- Pantau adanya tanda-tanda infeksi
- Pantau tanda-tanda vital sesuai intruksi

Observasi luka untuk adanay tanda-tanda infeksi : panas, nyeri, bengkak dan kemerahan.
Beri antibiotik : pantau respon anak
Pantau tempat pemasangan infus
Tingkatkan penyembuhan luka
Lakukan perawatan luka : jaga agar tempat tersebut tetap kering dan bersih.
Letakkan anak dalam posisi semi fowler untuk memudahkan drainase jika ada cairan.

Kaji nyeri dan lakukan tindakan penghilang nyeri
Ajarkan teknik distraksi untuk mengurangi rasa sakit.
Lakukan tindakan-tindakan pemberi rasa nyaman seperti masase dan pemberian posisi yang nyaman.
Bantu anak dan orang tua dalam mengatasi stress emosional karena hospitalisasi dan pembedahan.